Taman Makam Seniman Budayawan Giri Sapto
A. Selayang Pandang
Mungkin tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya, Bukit Gajah, salah satu bukit di perbukitan Wukirsari, Imogiri, Bantul, akhirnya menjadi kompleks pemakaman para seniman. Tetapi, tidak demikian halnya dengan Dr. (HC) RM. Sapto Hoedojo FRSA (Felloe Royal School of Art). Seniman terkemuka kelahiran Solo, 6 Februari 1925 ini telah memimpikan sebuah kompleks makam seniman sejak tahun 1980-an, sekitar dua puluh tahun sebelum ajal menjemputnya.
Sebelum mewacanakan isu tentang makam seniman, Sapto telah mendorong para seniman untuk mendirikan koperasi. Melalui koperasi itu, Sapto berharap para seniman dapat lebih makmur. Namun, setelah diresmikan pada tahun 1985, koperasi seniman tersebut kemudian bangkrut karena lebih banyak yang meminjam daripada yang menabungkan uang.
Gagasan mengenai makam seniman pun bukannya sepi dari kritikan. Para koleganya sesama seniman bahkan menganggap ide itu gila. Sebab, bagi para seniman, yang terpenting adalah bagaimana menjual karya-karyanya. Soal makam, tentu menjadi urusan belakangan. Tetapi Sapto tak bergeming. Bagi Piek, sapaan akrab Sapto Hoedojo, alasannya sederhana. Jika pahlawan patut dikenang jasa-jasanya, maka seniman pun layak dihormati karena karya-karyanya. Selain ada yang menolak, ada juga seniman yang mendukung gagasan ini. Affandi, pelukis kenamaan yang juga mantan mertua Piek kala itu, bahkan telah mendaftarkan diri sebagai calon penghuni makam tersebut. Namun sayangnya, ketika maestro pelukis Indonesia itu meninggal, ia tak jadi dimakamkan di makam seniman. Affandi, atas permintaan istrinya Maryati (almarhum), dimakamkan di Museum Affandi, Jalan Laksda Adisutjipto 167, Sleman, Yogyakarta.
Ide membangun kompleks makam seniman ini menjadi kenyataan setelah KRT Suryapamo Hadiningrat, Bupati Bantul saat itu, memberikan sebidang tanah di Perbukitan Wukirsari untuk dijadikan makam. Areal yang bersebelahan dengan Makam Raja-raja Mataram Imogiri ini kemudian diresmikan dengan nama “Makam Seniman Pengharum Bangsa” oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Namun, tak lama berselang Sapto Hoedojo kemudian mengganti nama itu menjadi “Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto”, atau yang biasa dikenal sebagai Giri Sapto.
B. KeistimewaanBerziarah ke Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto merupakan salah satu cara untuk mengenang para seniman. Memasuki pelataran makam, para pengunjung akan disambut oleh deretan tangga dengan gerbang berbentuk setengah lingkaran. Gerbang ini tampak monumental karena ukurannya lumayan besar dengan diameter lebih dari 10 meter. Di ujung kanan gerbang tampak gentong besar (untuk pot bunga) yang berfungsi sebagai penghias gerbang. Pada bagian utara pelataran makam, terdapat cungkup makam Sapto Hoedojo, pendiri dan pemrakarsa makam ini. Beliau wafat pada tanggal 3 September 2003.
Setelah melalui beberapa puluh tangga, para peziarah akan menemukan deretan makam para seniman. Salah satunya adalah maestro seni lukis Indonesia, H. Widayat. Seniman yang mendirikan Museum H Widayat di daerah Mungkid, Magelang ini meninggal pada 22 Juni 2002. Selain pelukis, ada pula makam seniman tari terkemuka dari Yogyakarta, yaitu KRT Sasmintadipura, yang meninggal pada 26 Februari 1996. Romo Sas, demikian panggilan akrabnya, dikenal sebagai empu tari gaya Yogyakarta. Selain berziarah dan mengenang nama-nama sejumlah seniman, di tempat ini kita juga dapat menikmati panorama daerah Imogiri dari ketinggian. Desain areal makam yang menyerupai taman ini memungkinkan para peziarah untuk bersantai. Pada ujung tangga teratas, tepatnya di bagian atas bukit, pengunjung bisa duduk-duduk melepas lelah sambil menikmati panorama alam. Tak jauh dari areal makam ini, sekitar 250 meter arah timur, wisatawan dapat melengkapi ziarahnya ke Makam Raja-raja Mataram Imogiri.
C. Lokasi
Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto terletak di Bukit Gajah, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
D. Akses
Kompleks makam para seniman dan budayawan ini berada sekitar 20 km arah selatan Kota Yogyakarta. Lokasinya berdampingan dengan Bukit Girirejo, kompleks Makam Raja-raja Mataram Imogiri. Wisatawan atau peziarah dapat memanfaatkan taksi atau angkutan umum (bus) jurusan Yogyakarta—Panggang atau Yogyakarta—Petoyan dari Terminal Giwangan, Yogyakarta untuk menuju makam ini. Setelah menempuh waktu sekitar 30 menit dan membayar ongkos sekitar Rp 5.000, wisatawan akan sampai di Terminal Imogiri, Bantul. Dari terminal ini, pengunjung cukup berjalan kaki sekitar 250 meter menuju arah Makam Seniman. Namun, jika ingin memanfaatkan jasa ojek, wisatawan cukup membayar antara Rp 3.000—Rp 5.000.
E. Harga Tiket
Para peziarah yang berkunjung ke Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto tidak dikenai biaya masuk.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Tidak seperti Makam Raja-raja Mataram Imogiri, kompleks makam seniman ini tidak memiliki juru kunci maupun pemandu yang dapat menerangkan seluk-beluk pendirian makam serta riwayat para seniman yang dimakamkan di dalamnya. Para pengunjung hanya dapat membaca keterangan ringkas tentang siapa saja yang dimakamkan pada masing-masing nisan. Tiap nisan biasanya memuat nama, tanggal lahir dan wafat, karya, serta keterangan profesi sang seniman (pelukis, komponis, dan lain-lain).
Kompleks makam ini juga dilengkapi dengan sebuah masjid. Hanya saja, pada musim kemarau sumber air dari sumur masjid tersebut biasanya berkurang atau bahkan kering. Oleh sebab itu, peziarah yang memerlukan air untuk berwudhu, atau membutuhkan toilet, dapat memperolehnya di Terminal Imogiri yang terletak sekitar 250 meter dari kompleks makam. Di terminal ini juga tersedia warung-warung makan yang menyediakan makanan serta minuman khas Imogiri, yaitu wedang uwoh. Wedang uwoh ini dikenal memiliki khasiat untuk memulihkan stamina, menghangatkan tubuh, serta mengusir masuk angin—cocok untuk diminum setelah cukup capek menaiki dan menuruni tangga makam. Tiap satu kemasan, wedang uwoh dijual seharga Rp 1.000.
Mungkin tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya, Bukit Gajah, salah satu bukit di perbukitan Wukirsari, Imogiri, Bantul, akhirnya menjadi kompleks pemakaman para seniman. Tetapi, tidak demikian halnya dengan Dr. (HC) RM. Sapto Hoedojo FRSA (Felloe Royal School of Art). Seniman terkemuka kelahiran Solo, 6 Februari 1925 ini telah memimpikan sebuah kompleks makam seniman sejak tahun 1980-an, sekitar dua puluh tahun sebelum ajal menjemputnya.
Sebelum mewacanakan isu tentang makam seniman, Sapto telah mendorong para seniman untuk mendirikan koperasi. Melalui koperasi itu, Sapto berharap para seniman dapat lebih makmur. Namun, setelah diresmikan pada tahun 1985, koperasi seniman tersebut kemudian bangkrut karena lebih banyak yang meminjam daripada yang menabungkan uang.
Gagasan mengenai makam seniman pun bukannya sepi dari kritikan. Para koleganya sesama seniman bahkan menganggap ide itu gila. Sebab, bagi para seniman, yang terpenting adalah bagaimana menjual karya-karyanya. Soal makam, tentu menjadi urusan belakangan. Tetapi Sapto tak bergeming. Bagi Piek, sapaan akrab Sapto Hoedojo, alasannya sederhana. Jika pahlawan patut dikenang jasa-jasanya, maka seniman pun layak dihormati karena karya-karyanya. Selain ada yang menolak, ada juga seniman yang mendukung gagasan ini. Affandi, pelukis kenamaan yang juga mantan mertua Piek kala itu, bahkan telah mendaftarkan diri sebagai calon penghuni makam tersebut. Namun sayangnya, ketika maestro pelukis Indonesia itu meninggal, ia tak jadi dimakamkan di makam seniman. Affandi, atas permintaan istrinya Maryati (almarhum), dimakamkan di Museum Affandi, Jalan Laksda Adisutjipto 167, Sleman, Yogyakarta.
Ide membangun kompleks makam seniman ini menjadi kenyataan setelah KRT Suryapamo Hadiningrat, Bupati Bantul saat itu, memberikan sebidang tanah di Perbukitan Wukirsari untuk dijadikan makam. Areal yang bersebelahan dengan Makam Raja-raja Mataram Imogiri ini kemudian diresmikan dengan nama “Makam Seniman Pengharum Bangsa” oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Namun, tak lama berselang Sapto Hoedojo kemudian mengganti nama itu menjadi “Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto”, atau yang biasa dikenal sebagai Giri Sapto.
B. KeistimewaanBerziarah ke Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto merupakan salah satu cara untuk mengenang para seniman. Memasuki pelataran makam, para pengunjung akan disambut oleh deretan tangga dengan gerbang berbentuk setengah lingkaran. Gerbang ini tampak monumental karena ukurannya lumayan besar dengan diameter lebih dari 10 meter. Di ujung kanan gerbang tampak gentong besar (untuk pot bunga) yang berfungsi sebagai penghias gerbang. Pada bagian utara pelataran makam, terdapat cungkup makam Sapto Hoedojo, pendiri dan pemrakarsa makam ini. Beliau wafat pada tanggal 3 September 2003.
Setelah melalui beberapa puluh tangga, para peziarah akan menemukan deretan makam para seniman. Salah satunya adalah maestro seni lukis Indonesia, H. Widayat. Seniman yang mendirikan Museum H Widayat di daerah Mungkid, Magelang ini meninggal pada 22 Juni 2002. Selain pelukis, ada pula makam seniman tari terkemuka dari Yogyakarta, yaitu KRT Sasmintadipura, yang meninggal pada 26 Februari 1996. Romo Sas, demikian panggilan akrabnya, dikenal sebagai empu tari gaya Yogyakarta. Selain berziarah dan mengenang nama-nama sejumlah seniman, di tempat ini kita juga dapat menikmati panorama daerah Imogiri dari ketinggian. Desain areal makam yang menyerupai taman ini memungkinkan para peziarah untuk bersantai. Pada ujung tangga teratas, tepatnya di bagian atas bukit, pengunjung bisa duduk-duduk melepas lelah sambil menikmati panorama alam. Tak jauh dari areal makam ini, sekitar 250 meter arah timur, wisatawan dapat melengkapi ziarahnya ke Makam Raja-raja Mataram Imogiri.
C. Lokasi
Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto terletak di Bukit Gajah, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta, Indonesia.
D. Akses
Kompleks makam para seniman dan budayawan ini berada sekitar 20 km arah selatan Kota Yogyakarta. Lokasinya berdampingan dengan Bukit Girirejo, kompleks Makam Raja-raja Mataram Imogiri. Wisatawan atau peziarah dapat memanfaatkan taksi atau angkutan umum (bus) jurusan Yogyakarta—Panggang atau Yogyakarta—Petoyan dari Terminal Giwangan, Yogyakarta untuk menuju makam ini. Setelah menempuh waktu sekitar 30 menit dan membayar ongkos sekitar Rp 5.000, wisatawan akan sampai di Terminal Imogiri, Bantul. Dari terminal ini, pengunjung cukup berjalan kaki sekitar 250 meter menuju arah Makam Seniman. Namun, jika ingin memanfaatkan jasa ojek, wisatawan cukup membayar antara Rp 3.000—Rp 5.000.
E. Harga Tiket
Para peziarah yang berkunjung ke Taman Makam Seniman dan Budayawan Giri Sapto tidak dikenai biaya masuk.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Tidak seperti Makam Raja-raja Mataram Imogiri, kompleks makam seniman ini tidak memiliki juru kunci maupun pemandu yang dapat menerangkan seluk-beluk pendirian makam serta riwayat para seniman yang dimakamkan di dalamnya. Para pengunjung hanya dapat membaca keterangan ringkas tentang siapa saja yang dimakamkan pada masing-masing nisan. Tiap nisan biasanya memuat nama, tanggal lahir dan wafat, karya, serta keterangan profesi sang seniman (pelukis, komponis, dan lain-lain).
Kompleks makam ini juga dilengkapi dengan sebuah masjid. Hanya saja, pada musim kemarau sumber air dari sumur masjid tersebut biasanya berkurang atau bahkan kering. Oleh sebab itu, peziarah yang memerlukan air untuk berwudhu, atau membutuhkan toilet, dapat memperolehnya di Terminal Imogiri yang terletak sekitar 250 meter dari kompleks makam. Di terminal ini juga tersedia warung-warung makan yang menyediakan makanan serta minuman khas Imogiri, yaitu wedang uwoh. Wedang uwoh ini dikenal memiliki khasiat untuk memulihkan stamina, menghangatkan tubuh, serta mengusir masuk angin—cocok untuk diminum setelah cukup capek menaiki dan menuruni tangga makam. Tiap satu kemasan, wedang uwoh dijual seharga Rp 1.000.
Post a Comment for "Taman Makam Seniman Budayawan Giri Sapto"