SENYUM KARYAMIN
SENYUM KARYAMIN
Oleh: Ahmad Tohari
Mereka tertawa
bersama-sama. Mereka para pengumpul batu itu, memang pandai bergembira dengan
cara menertawakan diri mereka sendiri. Dan, Karyamin tidak ikut tertawa,
melainkan cukup senyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai
perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol licinnya
tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin menjadi tanda kemenaangan atas perutnya yang
sudah mulai meelilit dan matanya yang berkunang-kunang.
Memang Karyamin
telah berhasil membangun fatamorgana kemenangan dengan senyum dan tawanya.
Anehnya, Karyamin merasa terhina oleh burung paruh udang yang bolak-balik
melintas di atas kepalanya. Suatu kali, Karyamin ingin membabat burung itu
dengan pikulannya. Akan tetapi, niatnya itu diurungkan karena Karyamin sadar,
dengan mata yang berkunang-kunang dia tak akan berhasil melaksanakan maksudnya.
Jadi Karyamin hanya
tersenyum, lalu bangkit meski kepalanya pening dan langit seakan berputar.
Diambilnya keranjang dan pikulan, kemudian Karyamin berjalan menaiki tanah
licin yang berparut bekas perosotan tubuhnya tadi. Di punggung tanjakan,
Karyamin terpaku sejenak melihat tumpukan batu yang belum lagi mencapai
seperempat kubik, tetapi harus ditinggalkannya. Di bawah pohon waru, Saidah sedang
menggelar dagangannya nasi pecel. Jakun Karyamin turun naik, ususnya terasa
terpilin.
“Masih pagi kok
pulang, Min?” tanya Saidah, “Sakit?”
Karyamin menggeleng
dan tersenyum. Saidah memperhatikan
bibirnya yang membiru dan kedua telapak tangannya yang pucat. Setelah dekat
Saidah mendengar suara keruyuk dari perut Karyamin.
“Makan, Min?”
“Tidak. Beri aku
minum saja. Lenganmu sudah ciut seperti itu. Aku tak ingin menambah utang.”
“Iya, Min, iya.
Tetapi kamu lapar, kan?”
Karyamin hanya
tersenyum sambil menerima segelas air yang disodorkan oleh Saidah. Ada
kehangatan menyapu kerongkongan Karyamin terus ke lambungnya.
“Makan, ya Min?” Aku
tak tahan melihat orang lapar. Tak usah bayar dulu. Aku sabar menunggu
tengkulak datang. Batumu juga belum dibayarnya, kan?”
Si paruh udang
kembali melintas cepat dengan suara mencecet. Karyamin tak lagi membencinya
karena sadar, burung yang demikian sibuk pasti sedang mencari makan buat
anak-anaknya dalam sarang entah di mana. Karyamin membayangkan anak-anak si
paruh udang sedang meringkuk lemah dalam sarang yang dibangun dalam tanah di
sebuah tebing yang terlindung. Angin kembali bertiup. Daun-daun jati
beterbangan dan beberapa di antaranya jatuh ke permukaan sungai. Daun-daun itu
selalu saja bergerak menentang arus karena dorongan angin.
“Jadi, kamu sungguh
tak mau makan, Min? Tanya Saidah ketika melihat Karyamin bangkit.
“Tiadak. Kalau kamu
tidak tahan melihat aku lapar, aku pun tak tega melihat lenganmu habis karena
utang-utangku dan kawan-kawan.”
“iya Min, iya,
tetapi ....”
Saidah memutus
kata-katanya sendiri karena Karyamin sudah berjalan menjauh. Tetapi Saidah
masih sempat melihat Karyamin menolehkan kepalanya sambil tersenyum, sambil
menelan ludah berulang-ulang. Ada yang mengganjal di tenggorokan yang tak
berhasil didorongnya ke dalam. Diperhatikannya Karyamin yang berjalan melalui
lorong liar sepanjang tepi sungai.
Kawan-kawan Karyamin menyeru-nyeru dengan segala macam seloroh cabul.Tetapi
Karyamin hanya sekali berhenti dan menoleh sambil melempar senyum.
Sebelum naik
meninggalkan pelataran sungai, mata Karyamin menangkap sesuatu yang bergerak
pada sebuah ranting yang menggantung di atas air. Oh, si paruh udang. Punggung
biru mengkilap, dadanya putih bersih, dan paruhnya merah saga. Tiba-tiba burung
itu menukik menyambar ikan kepala timah sehingga air berkecipak. Dengan mangsa
di parunya, burung itu melesat melintas para pencari batu, naik menghindari
rumpun gelangan dan lenyap di balik gerumbul pandan. Ada rasa iri di hati
Karyamin terhadap si paruh udang. Tetapi dia hanya bisa tersenyum sambil
melihat dua keranjangnya yang kosong.
Sesungguhnya
Karyamin tidak tahu betul mengapa dia harus pulang. Di rumahnya tidak ada
sesuatu buat mengusir suara keruyuk dari lambungnya. Istrinya juga tak perlu
dikhawatirkan. Oh, ya Karyamin ingat bahwa istrinya memang layak dijadikan
alasan buat pulang. Selaman tadi istrinya tidak bisa tidur lantaran bisul di
puncak pantatnya. “Oleh karena itu, apa salahnya bila aku pulang buat menemani
istriku yang meriang.”
Karyamin mencoba
berjalan lebih cepat meskipun kadang secara tiba-tiba banyak kunang-kunang
menyerbu ke dalam rongga matanya. Setelah melintasi titian Karyamin melihat
sebutir buah jambu yang masak. Dia ingin memungutnya, tetapi urung karena pada
buah itu terlihat bekas gigitan kampret. Dilihatnya juga buah salak berceceran
di tanah di sekitar pohonnya. Karyamin memungut sebuah, digigit, lalu
dilemparkannya jauh-jauh. Lidahnya seakan terkena air tuba oleh rasa buah salak
yang masih mentah. Dan Karyamin terus berjalan. Telinganya mendenging ketika
Karyamin harus menempuh sebuah tanjakan. Tetapi tak mengapa, karena di balik
tanjakan itulah rumahnya.
Post a Comment for "SENYUM KARYAMIN"